Tulisan berikut adalah mengenai menjamak shalat ketika tidak bersafar atau ketika mukim.
Agar lebih jelas, silakan simak pembahasan berikut ini.
***
Ketika mukim (tidak bepergian jauh), selain hujan ada beberapa keadaan yang diperbolehkan untuk menjamak shalat. Seperti dalam keadaan takut, angin kencang dan membawa hawa dingin, tanah yang penuh lumpur dan sakit.
Pertama: Menjamak Shalat Ketika Penuh Lumpur yang Merintangi Jalan
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan,”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan,”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan,”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.”[1]
Hadits ini menunujukkan bahwa hujan dan tanah yang berlumpur (karena sebelumnya hujan, pen) merupakan udzur (alasan) untuk tidak melakukan shalat jum’at. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Abbas di atas ”Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat)” yang merupakan illah (sebab) untuk meninggalkan shalat jum’at ketika hujan dan ketika tanah berlumpur (becek). Dan kedua hal ini termasuk kesulitan.[2]
Oleh karena dalam shalat jum’at dibolehkan untuk ditinggalkan ketika jalan becek, maka begitu pula untuk shalat jama’ah lainnya. Maka becek (tanah berlumpur setelah turun hujan) merupakan alasan untuk menjamak shalat atau meninggalkan shalat jama’ah.
Syaikh Ibnu Baz dalam fatwanya pernah mengatakan ketika menjawab sebuah pertanyaan, ”Yang terpenting adalah apabila di sana terdapat sesuatu yang menyulitkan untuk ke masjid baik hujan deras maupun jalan yang sulit dilewati karena adanya lumpur dan air (setelah turun hujan), maka boleh untuk menjamak shalat dan ini tidaklah mengapa. Namun jika tidak dijama’, maka bagi mereka terdapat udzur untuk shalat di rumah-rumah mereka karena hujan dan adanya lumpur ketika berjalan.[3]
Kedua: Menjamak Shalat Ketika Angin Kencang Disertai Hawa Dingin
Di antara udzur (alasan) boleh menjamak shalat dan tidak melakukan shalat jama’ah adalah adanya angin kencang disertai hawa dingin.
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,”
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُنَادِي مُنَادِيْهِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ أَوْ اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ ذَاتَ الرِّيْحِ صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa mengumandangkan adzan ketika malam yang hujan dan malam yang dingin disertai angin kencang, lalu diucapkan ”shalatlah di rumah-rumah kalian”.”[4]
Lalu apa batasan angin yang kencang disertai hawa dingin?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, ”Yang dimaksudkan dengan angin kencang adalah angin yang di luar kebiasaan. Kalau angin cuma biasa-biasa saja (angin sepoi-sepoi, pen) maka tidak diperbolehkan untuk jama’. Dan yang dimaksudkan dengan angin yang membawa hawa dingin adalah angin yang menyulitkan manusia.”[5]
Menjamak pada kondisi ini dibolehkan apabila terpenuhi dua syarat yaitu:
[1] angin kencang,
[2] hawa dingin.
Ketika angin kencang, namun tidak disertai hawa dingin, maka tidak perlu ada menjamak shalat. Juga ketika cuaca begitu dingin, namun tidak disertai angin kencang, tidak boleh pula menjamak shalat karena kondisi sangat dingin bisa saja memakai pakaian tebal atau pakaian yang berlapis-lapis. Akan tetapi, jika ada angin kencang sehingga menerbangkan debu ke mana-mana, maka di sini barulah ada kesulitan dan diperbolehkan menjamak shalat dalam kondisi semacam ini.[6]
Ketiga: Menjamak Shalat Karena Kesulitan
Dari Ibnu ’Abbas, beliau mengatakan,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.”[7]
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni –Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah- menjelaskan, “Para pekerja atau petani jika di suatu waktu mereka mengalami kesulitan, misalnya sulit mendapatkan air dan hanya diperoleh jauh sekali dari tempat shalat. Jika mereka menuju ke tempat tersebut untuk bersuci, maka nanti akan hilanglah berbagai aktivitas yang seharusnya mereka jalanin. Dalam kondisi semacam ini, mereka boleh menjamak shalat. Lebih baik mereka mengerjakan shalat Zhuhur di akhir waktu yaitu mendekati waktu ‘Ashar. Nantinya mereka menjamak shalat Zhuhur dan Ashar (yaitu jama’ suri), shalat Zhuhur dijama’ suri dengan dikerjakan di akhir waktu, sedangkan shalat ‘Asharnya tetap dikerjakan di awal waktu. Akan tetapi, mereka juga boleh cukup dengan tayamum jika memang harus memperoleh air yang tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum dan mengerjakan shalat di waktunya masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan jama’ suri seperti tadi dan tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih afdhol (lebih utama). Walhamdulillah.”[8]
Keempat: Menjamak Shalat Ketika Sakit
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits-hadits seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena itu, dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yang jika tidak jamak maka seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yang telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yang si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada waktunya masing-masing adalah suatu hal yang lebih layak lagi.”[9]
Dalam kesempatan yang lain Syaikhul Islam menjelaskan,
”Orang yang menjamak shalat karena safar apakah dia diperbolehkan menjamak secara mutlak ataukah jamak itu hanya khusus bagi musafir. Imam Ahmad dalam masalah ini memiliki dua pendapat, baik ketika bepergian ataupun tidak bepergian. Oleh karena itu, Imam Ahmad menegaskan bolehnya jamak karena adanya kesibukkan (yang merepotkan untuk shalat pada waktunya masing-masing).
Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ”Semua alasan yang menjadi sebab bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah adalah alasan yang membolehkan untuk menjamak shalat. Oleh karena itu, boleh menjamak shalat karena hujan, lumpur yang menghadang di jalan, anging yang kencing membawa hawa dingin menurut pendapat yang nampak pada Imam Ahmad. Demikian pula dibolehkan menjamak shalat bagi orang sakit, wanita yang mengalami istihadhah dan wanita yang menyusui (yang harus sering berganti pakaian karena dikencingi oleh anaknya)”.[10]
:: Yang Mesti Diperhatikan Ketika Menjamak Shalat ::
Jama’ shalat berarti menggabungkan dua shalat yaitu shalat Zhuhur dan ’Ashar atau Maghrib dan ’Isya di salah satu waktunya. Jika digabungkan di waktu awal (waktu Zhuhur dan Maghrib), maka disebut jama’ taqdim. Sedangkan apabila digabungkan di waktu akhir (waktu ’Ashar dan ’Isya’), maka disebut jama’ takhir. Dalam melaksanakan shalat jama’, ada beberapa point yang mesti diperhatikan sebagai berikut.
Pertama: Niat ketika jama’ apakah harus di awal?
Kedua: Bolehkah berselang di antara dua shalat jama’?
Tidak perlu adanya niat di awal ketika hendak mengerjakan shalat yang pertama. Maksudnya, boleh bagi yang ingin menjamak mengerjakan shalat zhuhur terlebih dahulu tanpa mesti ia berniat ingin menjamak dengan shalat Ashar.
Boleh pula dalam menjamak dua shalat, kedua shalat tersebut dilakukan tanpa ada selang waktu, artinya setelah menunaikan shalat zhuhur langsung dilanjutkan dengan shalat ’Ashar. Atau boleh juga menjamak shalat Zhuhur dan ’Ashar dengan ada selang waktu. Kedua cara ini dibolehkan.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ’anhu, beliau berkata bahwa tatkala Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertolak dari ’Arofah. … Tatkala sampai di Muzdalifah, beliau berwudhu dan menyempurnakannya. Kemudian diserukan iqomah, lalu beliau shalat Maghrib. Setelah shalat Maghrib, para sahabat menderumkan unta mereka di tempat persinggahan. Lalu iqomah dikumandangkan kembali, kemudian shalat Isya. Dan tidak ada shalat di antara keduanya.”[11]
Hadits di atas menunjukkan bahwa sebelumnya para sahabat radhiyallahu ’anhum ajma’in tidak berniat untuk menjamak shalat pada awal waktu. Sehingga ini menunjukkan benarnya penjelasan kami yang pertama di atas.
Hadits tersebut menunjukkan pula bolehnya menjamak dua shalat dengan dengan ada selang waktu. Ketika selang waktu tersebut boleh diisi dengan aktifitas lainnya.[12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, ”Yang benar, tidak perlu dipersyaratkan tidak ada selang waktu antara dua shalat yang hendak dijamak, baik pada jamak takdim atau pun jamak takhir. Karena syari’at sendiri tidak membatasi hal ini. ”[13]
Ketiga: Adzan cukup sekali, iqomah untuk masing-masing shalat
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,
إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ
”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khondaq hingga malam hari telah sangat gelabp Kemudian beliau shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk adzan. Kemudian Bilal iqomah dan beliau menunaikan shalat Dzuhur. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Ashar. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Maghrib. Dan kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Isya.”[14]
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ
”Ketika beliau sampai ke Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan ’Isya dengan sekali adzan dan dua kali iqomah.”[15]
Keempat: Mengerjakan shalat secara berurutan
Ketika ingin menjamak dua shalat, maka disyaratkan dua shalat tersebut dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat lima waktu yang ada. Karena urutan tersebut telah ditetapkan oleh syari’at. Misalnya menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar, maka shalat yang dilakukan lebih dulu adalah shalat Zhuhur 4 raka’at, setelah itu shalat ‘Ashar 4 raka’at.[16]
Akan tetapi, jika seseorang lupa atau tidak tahu, ia ingin melakukan jama’ takhir. Ketika ada yang mengerjakan shalat ‘Isya’, ia pun berniat shalat ‘Isya’ di belakang imam tersebut. Baru setelah menunaikan shalat ‘Isya, ia menunaikan shalat maghrib yang belum ia tunaikan. Apakah shalat seperti ini sah karena tidak berurutan?
Para pakar fiqih mengatakan, “Shalatnya tidak sah. Shalat ‘Isya yang ia lakukan tidak sah. Dia harus tetap melakukan shalat ‘Isya lagi setelah melakukan shalat maghrib.”[17]
[1] HR. Muslim no. 699.
[2] Lihat Al Jami’ Li Ahkamish Sholah, 2/434.
[3] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/293.
[4] HR. Ibnu Majah no. 937. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[5] Syarhul Mumthi’, 2/284.
[6] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di Syarhul Mumthi’, 2/284.
[7] HR. Muslim no. 705.
[8] Majmu’ Al Fatawa, 21/458.
[9] Majmu’ Al Fatawa, 24/84.
[10] Majmu’ Al Fatawa, 24/14.
[11] HR. Bukhari no. 1672.
[12] Lihat Al Jaami’ Li Ahkamish Sholah, 2/ 497-499.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/54.
[14] HR. An Nasa’i no. 662. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih li ghoirihi (shahih dilihat dari jalur lain).
[15] HR. Muslim no. 1218.
[16] Ini contoh, jika dilakukan hanya menjama’ tanpa qoshor, seperti ketika turun hujan dan udzur lainnya ketika mukim.
[17] Penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/496. Beliau mengolahnya dari Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
Sumber: rumaysho.com